Kalumpang adalah wilayah dataran tinggi sebelah timur di kabupaten Mamuju. Dalam literature Hindia Belanda wilayah ini ditulis dengan nama Galoempang. Bahkan saat ini beberapa tetua kampung saat berbicara menyebut wilayah ini dengan sebutan Galumpang. Secara topografis, Kalumpang berada pada garis ketinggian 130 hingga 1.900 meter diatas permukaan laut. Sehingga secara geografis letak desa – desa di wilayah Kalumpang dibatasi perbukitan dan pegunungan, bahkan beberapa letak desa yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh aliran sungai besar.
Bila musim penghujan, jalan penghubung antar desa terkadang mengalami longsor, licin dan berlumpur dan tentunya membahayakan masyarakat yang menggunakan kendaraan roda dua. Jika demikian keadaannya maka masyarakat memilih untuk berjalan kaki atau menggunakan perahu tradisional yang dikenal dengan sebutan Kalotto untuk menjangkau desa disekitarnya.
Pusat pemerintahan kecamatan terletak di desa Kalumpang yang juga menjadi nama kecamatan untuk 13 desa diwilayah ini. Jarak tempuh dari ibu kota kabupaten di Mamuju mencapai 121 kilometer dengan waktu tempuh 3 hingga 4 jam adalah waktu tercepat pada saat kondisi jalan baik. Letak pemukiman masyarakat Kalumpang yang jauh dari pusat pemerintahan di kota Mamuju jika diukur dalam prespektif pembangunan saat ini wilayah Kalumpang dapat disebut sebagai masyarakat yang kehidupannya terpencil dan terisolir.
Sebetulnya, Kalumpang pada masa lalunya merupakan salah satu titik perkembangan peradaban kehidupan manusia serta jalur perdagangan tua di Sulawesi. Jejak ini dibuktikan dengan keberadaan kain sekomandi (tenun ikat dari kulit kayu), kerbau, ladang padi, situs batu, gua serta temuan tembikar oleh para arkeolog. Ini menunjukan pada kita bahwa masyarakat Kalumpang sudah sejak lama memiliki hubungan atau berkomunikasi dengan pihak luar.
Pada masa lalu, perempuan dalam tatanan kehidupan sosial di Kalumpang memiliki posisi yang penting. Dalam berbagai kesempatan, beberapa orang dari tokoh masyarakat menuturkan bahwa dahulu perempuan turut berperan dalam baik dalam mengambil keputusan di pemerintahan, memimpin acara keagamaan, dan menentukan keputusan dalam peradilan adat.
Dalam aktifitas pertanian, ada seorang perempuan yang digelar dengan sebutan topakkalu oleh masyarakat kampung. Karena pengetahuannya tentang perbintangan dan perhitungan bulan maka topakkalu/pakkalu akan menentukan dan memberi izin untuk membuka lahan baru untuk ladang, menentukan masa tanam serta masa panen.
Kemudian ada pula seorang perempuan yang disebut dengan bara baine/baha mihine yakni sosok perempuan yang dipercaya dan dihormati di kampung karena memiliki pengetahuan tentang sejarah wilayahnya, aturan adat dan tahapan – tahapan dalam peradilan adat. Maka bara baine/baha mihine inilah yang akan selalu berperan dalam proses hingga tahap pengambilan keputusan saat proses pelaksanaan peradilan adat yang erat kaitannya dengan masalah – masalah perempuan.
Saat ini, perempuan di wilayah Kalumpang yang telah menikah dominan beraktivitas di ladang, terlibat bersama di kebun, memelihara ternak sapi, kerbau maupun babi, mendulang emas di sungai hingga menenun kain ikat. Menenun dimaknai masyarakat Kalumpang khususnya desa Karataun tidak semata-mata sebagai aktivitas di sektor ekonomi saja, akan tetapi memastikan nilai dan kearifan milik leluhur dijaga dan dilestarikan. Sementara anak – anak perempuan mereka banyak melanjutkan pendidikan di kota karena fasilitas pendidikan yang ada di desa – desa wilayah Kalumpang masih terbatas pada fasilitas pendidikan dasar.
Untuk beberapakali kesempatan dalam kegiatan diskusi yang dilakukan, jumlah perempuan yang terlibat masih minim. Umumnya perempuan yang hadir dalam kegiatan diskusi baik di didalam maupun diluar kampung, mereka masih cenderung memilih posisi untuk mendengar dan aktif setelah kegiatan berakhir menyampaikan berbagai hal, baik yang berkaitan dengan materi diskusi maupun sekedar bercerita tentang hal – hal yang mereka alami di desa masing – masing.
Terbatasnya informasi atas kebijakan yang berlaku atas wilayah tempat mereka bermukim membuat perempuan juga menjadi sangat hati-hati dalam menyampaikan pikiran dan pendapatnya. Penetapan kebijakan atas ruang dalam wilayah desa baik kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan sangat berbeda dengan ruang yang mereka pahami. Ruang – ruang yang mereka pahami selama ini antara lain; pangala ikara, lomo, pangala, pinole, baliatang, kurra, songngang dan mamonde. Tentu akan berbeda dengan ruang yang disebut kawasan Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Produksi Terbatas, Suaka Alam/Pelestarian Alam, Cagar alam, Cagar Budaya, Areal Pemanfaatan Lain, Daerah Aliran Sungai, Tubuh Air, dan lain sebagainya.
Perbedaan dalam cara pengelolaan dan pemanfaatan dalam bentang alam yang sama ternyata menjadi salah satu masalah mendasar dan penyebab menurunnya otoritas perempuan Kalumpang dalam mengelola dan mengontrol sumberdaya alam di wilayahnya. Lahan untuk menanam padi ladang semakin kecil dan rotasi perladangan pun semakin pendek, banyak ladang berganti tanaman komoditi baru. Seiring perubahan ini, pengetahuan para topakkalu/pakkalu dan bara baine/baha mihine tentang bagaimana mengatur hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam tempat mereka bermukim, kini berada diambang kepunahan.