Perkumpulan Bantaya bersama Perkumpulan HuMa, Yayasan Merah Putih, Libu Perempuan, Celebes Institute dan Karsa Institute atas dukungan pendanaan dari Kerk In actie – ICCO Cooperation juga melakukan kegiatan assesmen aset para penyintas. Kegiatan asesmen dilakukan pada 5 (lima) lokasi yaitu desa Loli Pesua dan Lero Tatari di kabupaten Donggala, kelurahan Petobo dan Balaroa di kota Palu dan desa Beka di kabupaten Sigi. Kegiatan ini melibatkan 15 orang surveyor dengan jumlah target responden sebanyak 150 orang.
Assesment aset ini dimaksudkan untuk melakukan kegiatan pengumpulan data terkait kerugian ekonomi dan juga dari segi kerusakan aset seperti rumah, harta berharga maupun tanah/lahan yang disebabkan oleh bencana alam baik gempa bumi, liquifaksi, longsor, banjir, down lift, dan tsunami. Berdasarkan tingkat partisipasinya, sebanyak 82% responden didominasi oleh laki-laki dan selebihnya (18%) adalah responden perempuan. Adapun gambaran singkat hasil assesment adalah sebagai berikut :
- Sebanyak 53% kepala keluarga (KK) penyintas memiliki tanggungan 3 hingga 4 orang anggota keluarga.
- Bahwa ada 3 jenis pekerjaan para responden yang paling dominan sebelum bencana yakni buruh, petani dan wiraswasta. Sementara yang tidak bekerja sangat sedikit. Namun pada saat pasca bencana jenis pekerjaan para responden yang paling dominan adalah buruh dan yang jumlah responden yang tidak bekerja meningkat tajam.
- Sebelum bencana sebagian besar penyintas memiliki aset lahan dan bangunan yang luas dengan presentase mencapai 82% (Cukup luas dan Luas). Sebagian besar responden mengatakan bahwa sebelum bencana ukuran luas bangunan (rumah tinggal) yang mereka punyai antara 36-72 meter persegi atau dalam kategori sederhana mencapai 42%. Ada pula luas bangunan 73-109 meter persegi yang dimiliki sebagian penyintas mencapai 26%. Dari Aspek legalitas status kepemilikan bangunan rumah maupun lahan masyarakat penyintas sebelum bencana dominan tidak memiliki surat-surat legal yang membuktikan kepemilikan dengan jumlah mencapai 46%.
- Jumlah responden yang kehilangan tanah atau rusak sebanyak 32% dan 100% responden menyatakan bahwa mereka mengalami kerusakan rumah tinggal baik akibat tsunami (utamanya penyintas yang tinggal di pesisir pantai) maupun dampak dari bencana alam likuifaksi (utamanya di Kelurahan Balaroa dan Kelurahan Petobo) kerugian akibat bencana tsunami dan likuifaksi tersebut rata-rata Rp 88 juta dan untuk kerugian rumah rata-rata sebesar Rp 70 juta.
- Dari bentuk bangunan responden sebagian besar bangunan permanen dengan presentase mencapai 79%.
- Untuk kerusakan asset berupa alat produksi, responden yang berprofesi sebagai nelayan, alat produksinya berupa perahu dan perlengkapannya mengalami kerusakan/ kehilangan akibat bencana gempa dan juga tsunami khususnya di Kabupaten Donggala yakni di Desa Lero Tatari dan Kelurahan Loli Pesua.
- Sehingga pasca bencana suami yang tidak bekerja sebanyak 114 dan istri sebanyak 61. Jika diurutkan berdasarkan alasan para responden yang menyebabkan mengapa keluarga tidak bekerja antara lain : Trauma 39%, Tidak ada pekerjaan 37%, Rusak/Hilangnya alat kerja 18% dan Sakit 7%.
- Kemudian terdapat 100 responden (67%) responden mengatakan bahwa mereka memang tidak memiliki pengetahuan atau informasi tentang kebencanaan. Sedangkan 49 (33%) orang mengatakan memiliki informasi kebencanaan.
Adapun kesimpulan dari assesment asset antara lain;
- Nilai kerusakan dan kerugian aset akibat bencana menjadi nilai ekonomi yang terpaksa harus ditanggung oleh penyintas. Kehilangan aset berharga seperti rumah, ternak dan asset jiwa (anggota keluarga) berdampak pada kecenderungan psikis yang sulit lepas dari bayang-bayang bencana meskipun bencana itu telah berlalu. Kekhawatiran dan keresahan turut hadir ketika nilai kerugian asset nyatanya tidak berbanding lurus dengan nilai biaya ganti rugi yang diperoleh dari pemerintah. Penyintaslah yang terpaksa menaggung biaya kerugian-kerugian itu.
- Bencana alam ini sempat melumpuhkan aktivitas perekonomian masyarakat. Penyintas yang paling banyak kehilangan asset-lah yang sesungguhnya paling merasakan tekanan ekonomi. Akibatnya saat ini penyintas masih berada datam kerentanan ekonomi, yaitu kerentanan ancaman kemiskinan. Jika roda putaran dan pertumbuhan ekonomi daerah terdampak tidak diiringi dengan keberdayaan ekonomi penyintas, perbaikan sarana penunjang, stabilisasi lingkungan kerja, serta tanpa penguatan modal social maka dikhawatirkan bencana kemiskinan akan melanda penyintas, sebab merekalah yang paling rentan saat ini.
- Pasca bencana orang-orang ramai-ramai mencari dalang siapa yang salah dibalik kedatangan musibah gempa, tsunami, likuifaksi maupun bencana susulan lainnya. Namun tidak sempat berpikir jika hamper semua penduduk di Sulteng yang justru tidak mengenal riwayat bencana di daerahnya. Dimasa penanganan dan pemulihan itu sangat Nampak bahwa informasi ancaman kebencanaan, bantuan kebencanaan (Huntara dan Huntap), maupun hak-hak masyarakat untuk memperoleh penanggulangan bencana ternyata terkesan tertutup rapat-rapat dari pemerintah. Sebagai efek, rendahnya pengetahuan masyarakat-penyintas terkait aspek kebencanaan, termasuk pengetahuan mitigasi akhirnya justru memperbesar munculnya resiko-resiko yang tidak diduga sebelumnya, baik resiko jatuhnya ribuan korban jiwa hingga timbulnya krisis kepercayaan kepada pemerintah daerah.
Menyukai ini:
Suka Memuat...